Monday, December 21, 2015

Kabar Tentang Teman Lama

Kemarin malam, tiba-tiba ada seseorang yang ngechat saya via whatsapp. Orang itu hanya menulis 2 kata: woi jelek.

Saya mengerutkan kening ketika membacanya dan mikir, “ih, siapa sih nih? Salah chat kali ya.” Dan dengan malas saya membalas chatnya, “ini siapa?”

Dia        : Rico. Siapa lagi. Wkwkwkwk… Gak inget sama gw :(
Saya      : Rico siapa? Fotonya gak muncul.
Dia        : Rico temennya Sipit
Saya      : oh.. hahahahah
Dia        : Sombong nih, masa sama temen nongki gak inget.
Saya      : Ye, lagian tau2 chat manggil jelek, gak ada fotonya dan nomornya gue gak tau.
Dia        : hahahahah.. maklum gak ganteng.
Saya      : gue udah lupa kapan terakhir nongki bareng. Semacem puluhan taun yang lalu.
Dia        : tua amat kayaknya gw. Da hampir setaun.
Saya      : lebih. Gue aja gak ketemu Sipit 2.5 tahun.
Dia        : Iya.. wkwkwkwk.. kan lo ke korea.. gimana kabar?

Begitulah chat saya dan Rico di awal. Entah dapat info dari mana kalau saya ke Korea, padahal saya belum pernah ke Korea. Soon! Mudah-mudahan.

Rico ini teman saya dari jaman putih abu-abu. Dia segeng dengan Pemao aka Alay (kisah mereka banyak saya ceritakan di blog Summer3angle).  Saya sama sekali tidak akrab dengan Rico ketika SMA, tidak pernah bertegur sapa. Dia tipe-tipe cowok yang saya hindarin. Tukang rusuh, anak genk. Tapi seperti Alay, saya pun menjadi akrab dengan Rico. Ya walaupun kedekatan saya dengan Rico tidak sedekat saya dengan Alay. Tapi, kami menjadi teman main.

Seperti Alay yang saya anggap troublemaker, tapi ternyata dia baik banget dan kita jadi teman baik sejak kelas 3 SMA. Rico pun demikian.

Saya, Rico, Sipit dan Podeng menjadi akrab sejak pertengahan kuliah. Rico dan Sipit sering diajak Alay untuk nongkrong bareng dan akhirnya kita semua akrab. Sedangkan Podeng, saya akrab dengannya sejak sama-sama jadi panitia Reuni SD pada tahun 2009.

Karna satu dan banyak hal pertemanan kami renggang, terutama saya dan Sipit. Dan kita akhirnya disibukkan dengan urusan masing-masing. Tanpa terasa tahun berganti begitu cepat. Terakhir saya bertemu Alay sepertinya akhir tahun lalu, dengan Podeng awal tahun ini, dengan Rico? Sepertinya pertengahan tahun lalu, itu pun gak sengaja bertemu karna kita sama-sama berada di kedai susu favorit saya. Rico dengan teman-temannya, saya dengan teman-teman saya.

Saling bertanya kabar dan mengetahui keadaan masing-masing membuat saya banyak berpikir. Betapa banyak kejadian terlewatkan. Kita janjian untuk ngumpul lagi di bulan januari, di café milik si Alay. Iya, sekarang Alay udah punya café. Hebat ya. ^^

Chat kita terus berlanjut dan sampailah pada suatu kalimat yang saya gak pernah pikirkan, “udah jarang nongki. Kan adik gw lagi di kemoterapi. Jadi sekarang lagi fokus sama adik gw dulu.”

Adiknya Rico baru masuk SMA, cewek, kena kanker getah bening dan udah dikemo selama setahun. Saya sampai gak tau harus membalasnya seperti apa. Saya tau dia gak ingin dikasiani. Dan saya kebanyakan membalasnya dengan kata ‘Oh..’

Saya sedih. Dan saya gak tau harus berbuat apa. Mungkin dia butuh teman untuk mendengarkan keluh-kesahnya. Mungkin dia butuh teman yang bisa membuatnya terhibur. Rico anak pertama, tanggung jawabnya terhadap keluarga begitu besar. Saya paham itu, karna saya pun demikian.

Dan sejujurnya dalam 2 hari ini saya mendapatkan curhat dari orang yang kena kanker lebih dari satu orang. Pertama, seseorang yang divonis kena kanker tulang belakang (saya gak bisa sebutin namanya di sini) saya kalut mendengarnya, saya hanya bisa menguatkan dan menyemangatinya melalui kata-kata dan doa. Kedua, adiknya Rico yang kena kanker getah bening.

Bulan desember, bulan yang saya sukai, tetapi ada hal-hal tidak baik yang saya dengar.
Jangan pernah berpikir masalahmu paling berat, hidupmu sengsara dan nelangsa karna ada begitu banyak orang di luar sana yang punya masalah yang lebih berat. Tetap lah berjuang, tetap lah percaya akan rancangan Tuhan.

Masalah saya pun banyak. Berat? Iya. Tetapi saya diberi penguatan dan menjadi tempat mendengarkan permasalahan orang lain adalah salah satunya.

Ps: saya dan kalian punya permasalahan masing-masing. Mengeluhlah secukupnya, bersyukurlah sebanyak-banyaknya.

Love,
Ay.

Tuesday, December 15, 2015

Desember. Perjalanan. Bagasi


Banyak hal yang saya sukai. Saya suka memandang langit berawan. Saya suka rintik hujan. Saya suka menggambar. Saya suka menulis. Saya suka bercerita tentang hari-hari saya kepada orang-orang yang saya percaya. Saya suka dengan pendar bintang dan kerlipan kunang-kunang. Saya suka anak-anak. Saya suka mendengarkan keluh-kesah teman-teman saya. Saya suka bepergian ke tempat-tempat baru dan saya suka bulan Desember. Entah sudah berapa banyak yang tau kalau saya amat menyukai bulan ini.
Setiap bulan Desember tiba, hati saya dipenuhi kehangatan. Ada perasaan nyaman dan damai di dalamnya. Entah dari mana datangnya, saya tidak tau. Walau di 31 hari di bulan itu ada hal-hal buruk yang terjadi, tapi tidak menghilangkan rasa hangat di hati saya. Di bulan Desember, saya seperti diberikan kekuatan lebih untuk menjalani hari-hari saya.
Bulan Desember di tahun ini pun sudah lewat setengahnya. Ah, kenapa begitu cepat? Seriously, saya tidak ingin cepat-cepat berakhir. Karna menunggunya lagi butuh 11 bulan. Waktu yang tidak sebentar.
Hal baik dan buruk pun terjadi di bulan ini. Menyerahkan saya? Tidak. Menangiskah saya? Sedikit.
Sayang, catat ini: menangislah secukupnya dan berbahagialah sebanyak-banyaknya.
Di bulan ini pun saya banyak mengikuti kegiatan. Saya ingin terus menata diri saya, memperbaikinya di berbagai sisi, tidak untuk menjadikan diri saya sempurna tetapi menjadi ‘saya yang lebih baik dari sebelumnya’.  
Minggu lalu saya ikut acara gereja, saat itu temanya ‘Forgiving’. Dari sekian menit pembicara membawakan topik itu, ada banyak pelajaran yang saya dapatkan.
Everyday, everybody will hurt you. Everyday, you must forgive someone.
Before you forgave someone, try to forgave yourself first.  
Kira-kira begitulah yang pembicara itu ucapkan (dan maafkan kalau kalimat yang saya tulis salah, you know, kemampuan bahasa inggris saya minim. Correct me if I’m wrong ya. Hehe)
Kalimat itu membekas di hati saya dan tanpa sadar saya mengangguk-anggukan kepala saat mendengarnya. Memaafkan diri sendiri, kedengarannya begitu mudah. Tapi, faktanya, memaafkan orang lain jauh lebih mudah dibanding memaafkan diri sendiri. Saya masih perlu belajar memaafkan diri saya, menyayanginya dan memberikan apresiasi ketika saya melakukan hal yang baik. Saya masih perlu belajar untuk menghargai diri saya. Dan tentunya belajar menghapus rasa-rasa tidak mengenakkan yang bersarang di dalam hati.
Dan di bulan ini pun saya menemukan 1 postingan yang mengena di hati. Saya gak berpikir sebelumnya kalau di blog ini akan kedatangan bintang tamu. Saya tidak pernah berpikir untuk merepost cerita orang lain di blog saya. Tapi, kali ini pengecualian. Saya menyukai tulisan ini.

Hidup itu seperti sebuah perjalanan. Bergerak dari sebuah titik ke titik lain di masa depan. Pergi ke satu tempat untuk menetap atau hanya sekadar untuk singgah. Bertemu dengan seseorang atau akhirnya memutuskan berpisah.
Seperti halnya sebuah perjalanan, masing-masing dari kita membawa bagasi yang berbeda. Mungkin hanya sebuah kotak kecil yang ringan untuk dibawa, atau koper besar berwarna cokelat muda yang menguras tenaga untuk membawanya.
Setiap orang membawa bagasinya masing-masing. Untuk seseorang, bagasi itu mungkin cukup dibawa dengan sebelah tangan. Dan untuk sebagian yang lain, harus dipanggul dengan menggunakan kokohnya tulang belakang.
Bagasi itu bentuknya bermacam-macam, bisa berupa beban ekonomi yang berkepanjangan, rumitnya kondisi keluarga yang memberatkan, hingga luka atau trauma emosional yang tak kunjung hilang.
Dan layaknya manusia normal, mungkin kadang kita suka membandingkan. Berkata pada diri sendiri : “Seadainya saja saya berada di posisinya. Seandainya saja saya lah orang yang membawa bagasinya.”
Tapi sayang kondisinya tidak seperti itu kawan.
Bring your own luggage. It’s your life. Never compare it with others.
Jangan pernah meminta orang lain untuk membawa bagasimu. Karena ketika kau mulai membandingkan, saat itulah kau kehilangan kebahagiaan.
Mungkin kamu pernah bertemu dengan orang yang sepertinya rela menerima kondisimu, rela membawa bagasimu, namun akhirnya dia sadar, dia tidak butuh beban tambahan.
Dan memutuskan untuk pergi, memilih bersama orang dengan bagasi yang lebih kecil. Agar bebannya terasa lebih ringan.
Jangan kau tangisi kawan. Dia bukan untukmu.
Tetap bersabarlah kawan, ketika kau tergopoh-gopoh berusaha untuk membawa sendiri bagasimu, berusaha menggenggam erat semua koper bawaanmu, atau memanggul semua beban di pundakmu.
Nanti akan ada seseorang yang rela menjulurkan tangannya untuk membantumu. Tersenyum berdiri di sebelah mu.
Membantu membawa barang bawaanmu. Mencengkeram pegangan koper itu bersamamu.
Mungkin karena dia pernah membawa bagasi yang sama. Sebuah koper besar berwarna cokelat muda. Atau memang dia yang rela, untuk membawa bagasimu bersama-sama.
Karena suatu saat, “bagasi mu” akan berubah menjadi “bagasi kita”.
Ditulis oleh Tirta – Pemilik blog romeogadungan.com

Apakah kamu merasakan seperti yang saya rasakan ketika membaca tulisan di atas? Ada kah rasa hangat menjalar di hatimu?
Tulisan Tirta memembuat saya terdiam sejenak dan memikirkan koper-koper yang selama ini saya bawa. Bagi banyak orang yang mengenal saya hanya di luarnya saja, mungkin saya terlihat ke mana-mana hanya membawa tas tenteng kecil. Nyatanya, tiap harinya saya membawa banyak koper yang seringkali membuat saya teramat lelah dan tertidur di hampir setiap perjalanan saya pulang ke rumah.
Saya tidak ingin orang lain repot dengan bagasi saya yang penuh dengan koper besar dan kecil. Jika berjalan bersama saya ikut membuatmu lelah, berhenti dan pergilah. Saya tidak ingin menahanmu. Itulah yang kemarin-kemarin saya lakukan. Tidak ingin membuat orang lain susah karena saya.

Dari kalimat-kalimat Tirta, saya tersadar bahwa saya boleh mempercayakan koper-koper saya kepada seseorang yang bersedia ikut menjinjingnya bersama. Saling menyemangati untuk terus berjalan seberapa pun melelahkannya perjalanan itu.

Saya pun percaya meski seseorang itu belum datang, saya tidaklah sendiri. Karna Tuhan saya sudah terlebih dahulu membawa sebagian besar isi bagasi saya. Dia mempercayakan saya koper-koper lain agar saya menjadi orang yang tidak lemah. Dan agar saya dapat belajar untuk mempercayakan koper-koper itu untuk dibawa bersama dengan seseorang.

Ps: Ditulis dalam keadaan langit mendung, mata mengantuk tetapi dengan perasaan yang jauh lebih baik.

Love,
Ay