Wednesday, March 2, 2016

Hati yang Dingin (?)

Tadi pagi seorang teman curhat ke saya masalah percintaan. Saya menghargai orang-orang yang mempercayakan kisah mereka pada saya. Tetapi, saya sendiri punya batasan untuk mendengarkan dan menanggapi curhatan-curhatan itu.
Teman saya ini bisa dibilang udah tingkat depresi karna putus cinta, setiap di chat dan ketemu pasti selalu menceritakan kesedihan dan sakit hatinya. Awalnya saya mendengarkan dengan baik, menguatkannya. Seberapa pun saya mendengarkan, seberapa pun saya mengeluarkan pernyataan-pernyataan menguatkan, kalau masih ‘menikmati’ sakit hati itu, saya ya gak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ada satu titik di mana saya sudah tidak bisa mentolerir sikapnya. Tadi pagi lah saya sudah mencapai titik itu, di mana saya sudah tidak mau memberikan tanggapan mengenai kisah cintanya.
Dia         : mungkin lo gak ngerti karna lo gak berada di posisi gue, jadi lo gampang ngomong begitu.
Saya       :iya, gue gak tau dan gak akan pernah tau, karna gue gak ngalaminnya. Terus gunanya cerita ke gue apa?
Yak! Saya udah mulai galak dan ‘jahat’.
Dia         : gue pengen didengerin lah, bukannya lu temen gue
Saya       : gini ya, lo udah gede. Lo bukan bocah ababil lagi, lo tau gimana harus bertindak pake logika. Masalahnya lo ngomongin dia gak hanya 1-2x. berkali-kali dan gue jadi mikir, ‘kok lo gini amat ya?’
Dia         : gue gak perlu lo ngejudge gue, gue cuma pengen lo dengerin aja gue.
Saya       : karna lo cuma minta didengerin, jadi lo mau cerita panjang lebar gpp, gue baca tapi gue gak mau kasih tanggepan apa-apa lagi.
Sepertinya saya cocok ya menjadi peran antagonis? Orang yang baca potongan chat di atas pasti akan berpikir saya begitu tega sama teman sendiri, saya jahat, temannya lagi galau malah balik diomelin bukannya ditenangin.
Ada perkataan teman saya yang membuat saya…….
hati lo sepertinya dingin…
Hidup saya keras, permasalahan saya tidaklah sedikit. Di tujuh tahun terakhir ini saya tumbuh menjadi pribadi yang tidak manja, tidak merengek-rengek, tidak banyak mengeluh. Karna tidak ada gunanya juga saya meratapi permasalah-permasalah saya. Hidup saya sudah berat dan saya tidak ingin lebih memberatinya dengan menjadi orang yang lemah.
hati lo sepertinya dingin…
saya tidak bisa mengungkapkan perjalanan hidup saya kepadanya. Karna bobotnya tidak sebanding dengan permasalahan cintanya.
Bagaimana saya bisa menceritakan perjalanan saya yang rumit kepada orang yang stress hanya dengan 1 permasalahan cinta?
Saya sama sekali tidak meremehkan permasalahannya, saya mengerti kapasitasnya dan oleh karna itu saya tidak dapat bercerita padanya.
Hati saya sudah penuh dengan tambalan. Bentuknya sudah tidak sempurna lagi, jadi saya tidak ingin menambahi beban pada hati saya. Saya mencoba menyatukan hati saya dengan logika, biar lebih ‘waras’. Pikiran saya yang akhirnya melindungi hati saya. Karna saya belajar, dengan apa-apanya menggunakan hati tanpa logika, saya akan hancur. Setelah itu? Tidak ada lagi yang tersisa dari diri saya.
Jelas, saya tidak menginginkan hal itu. Hati saya tidak dingin, dia masih sehangat sebelumnya bahkan jauh lebih hangat. Tetapi dia pintar, dia dapat bekerja sama dengan otak sehingga dapat memilah mana yang perlu pakai hati, mana yang perlu pakai logika, mana yang keduanya berjalan beriringan.

sayang, dalam hidup kita punya dua pilihan ketika dihadapi masalah:
stress, depresi, terpuruk dan jadi gila
atau
stress, nangis, kemudian bangkit, berjuang dan tetap menjalani hidup dengan baik.

Love,
Ay