Sunday, August 21, 2016

Kisah Kedai Kopi

 “Selamat datang di Asal Mula Kopi, mau pesan apa?”
Kalimat itu selalu terucap dari Mahesa, seorang barista sekaligus pemilik kedai kopi. Aku suka mengamati laki-laki itu ketika bekerja, senyumnya selalu meninggalkan kesan manis. Kak Hesa, aku memanggilnya demikian, adalah seorang sosok laki-laki yang menarik, cara dia melayani pelanggan – dengan senyum yang tak pernah lepas tercetak di wajahnya, cara dia bergurau dengan barista lainnya seakan tidak ada batasan antara pemilik dan pegawai serta cara dia meracik kopi yang seakan ada aura menyenangkan yang ikut masuk ke dalam kopi buatannya.
Ah, dan aku juga suka dengan nama kedai kopi ini. Asal Mula Kopi. Membuat setiap orang penasaran dan memiliki banyak persepsi atas nama tersebut. Uniknya, Kak Hesa tidak pernah benar-benar menceritakan kisah dibalik nama itu, dia ingin setiap orang menerka-nerka sendiri dan tidak ingin membatasi pandangan orang lain.
Sambil menyeruput teh melati yang masih panas, aku kembali mengamati setiap sudut kedai itu. Asal Mula Kopi bukanlah kedai kopi yang besar. Hanya ada 4 meja persegi dengan setiap mejanya diisi 4 bangku serta 2 meja bundar yang diisi oleh 2 bangku. Di atas tiap meja dihiasi oleh satu botol kaca berisi biji kopi dan setangkai bunga baby's breath, sentuhan feminin untuk tempat yang bisa dibilang lebih cocok menjadi tempat nongkrong para pria.
Interior dalam dari bata merah dengan bohlam-bohlam yang menggantung di langit-langit membuat kedai ini terasa hangat dan nyaman. Tidak seperti kedai kopi kebanyakan, Asal Mula Kopi menawarkan kopi-kopi asal Indonesia yang ditaruh pada kotak-kotak kaca besar yang diberikan keterangan: Luwak, Jawa, Bali, Sumatera, Toraja, Lanang, Aceh Gayo dan Wamena.  Setiap orang yang datang dapat memilih langsung ingin diseduhkan kopi apa dan mereka diperbolehkan mencium biji kopi yang ditawarkan. Penyeduhannya pun tidak memakai mesin kopi yang canggih, Kak Hesa masih menggunakan cara lama – pour over, dia pernah bilang kalau rasa kopi dan baunya akan semakin keluar.
Hampir setiap hari aku datang ke sini. Tetapi, aku bukanlah pecinta kopi. Aneh? Memang. Setiap datang ke sini aku hanya memesan minuman yang selalu sama, teh melati dengan ditemani sepotong roti bakar mentega.
“Vanda, aku tinggal dulu ya.” Kak Hesa pamit, dia harus membantu melayani pelanggan yang datang.
Aku pun tersenyum dan mengangguk, mengerti bahwa dia perlu melayani. Akan ada waktunya kami berbincang-bincang dan bercerita tentang satu hari yang dilalui.
Pandanganku beralih ke meja-meja lain. Sore ini hanya 3 meja yang terisi. 1 meja bundar yang diisi oleh sepasang kekasih – kalau aku amati dari cara mereka yang saling memandang, 1 meja persegi berisi 3 orang mahasiswa yang sibuk dengan laptop masing-masing dan aku yang duduk sendiri di meja bundar. Semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing dan tidak memperdulikan para pengunjung yang silih berganti datang untuk memesan kopi kemudian keluar lagi dari kedai.
Aku kembali mengarahkan pandanganku kepada Kak Hesa yang baru saja menyerahkan 1 cup kopi kepada pengunjung yang datang. Aku menatapnya lekat-lekat. Orang yang aku tatap pun sadar dan dia tersenyum.
I love you.” Kak Hesa mengucapkannya tanpa suara serta memberikan satu kedipan, membuatku tersipu malu. Dia memang paling bisa membuat aku salah tingkah.
Aku melirik ke arah jam dinding, sudah pukul 6 sore. Aku menghabiskan teh melati yang sudah dingin itu dan memasukkan potongan terakhir roti bakar mentega. Sambil mengunyah, aku rapikan buku-buku yang tersebar di meja, memasukkannya kembali dalam tas.
“Yuk.” Kak Hesa sudah berdiri di depanku, apron yang seharian dia pakai sudah dilepas.
 “Dim, gue cabut duluan. Jaga kedai ya!” Pesan Hesa kepada staffnya.
“Siap Pak Bos! Selamat berkencan,” ledek Dimas.
Aku tertawa kecil mendengarnya, “ makasih Dimas yang sampai saat ini masih jomblo.” Gantian aku meledeknya. Sebelum Dimas buka suara, aku buru-buru menarik tangan Kak Hesa dan mengajaknya keluar dari kedai.
“Aku laper banget,” rengekku setelah berhenti menertawakan Dimas dari luar kedai.
“Kamu mau makan apa?”
“Kwetiaw siram!” Ucapku dengan semangat.
“Di tempat biasa?”
Aku mengangguk.
“Kita ke sana dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Kali ini kamu harus habisnya satu porsi. Gak boleh sisain makanan, ngerti?” Ucap Kak Hesa, galak.
Aku mencibir, “ iyaaaa… yukk, laper nih.”
Kak Hesa menatapku gemas. Dan aku membalasnya dengan cengiran.
***
“Selamat datang di Asal Mula Kopi, mau pesan apa?” Ucap Dimas secara spontan tiap kali ada pelanggan yang datang.
“Biasa ya, bro,”pesan orang itu.
“Oke, Bro!” Dimas mengambil Aceh Gayo dan mulai menyeduh sedangkan si pemesan kembali keluar dari kedai.
Bayu, nama orang itu. Dia menyelipkan sebatang rokok diantara bibirnya dan menghisapnya dalam-dalam. Dia mengeluarkan handphonenya dan membuka galeri foto. Banyak tersimpan foto-foto dia bersama seorang perempuan cantik, saat makan malam, bermain di pantai bahkan foto-foto selfie dengan berbagai mimik muka. Bayu meremas handphonenya.
“Brengsek!” Makinya.
“Aceh Gayo,” sodor Dimas. Dia ikut menemani bayu duduk di depan kedai dan mulai menyalakan rokok.
“Lo masih belom bisa lupain dia?” Tanya Dimas.
Orang yang ditanya hanya diam sambil kembali menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Gue emang apes ya dapet cewek yang cuma cantik luarnya aja,” kata Bayu dengan nada sinis.
“Bagus lo udah lepas dari dia.”
“3 tahun, Dim. Bukan waktu yang sebentar. Dan demi cowok bajingan tajir, dia ninggalin gue. Bangsat!”
Dimas -melihat gelagat Bayu yang emosinya mulai meninggi, merangkul cowok itu.
“Lo tunjukin sama dia, tunjukin karna dia udah ninggalin lo. Lo harus melebihi si sampah itu.”
Bayu meneguk kopinya, menghisap rokoknya kembali.
“Lo bener, gue gak akan kalah sama si bajingan!”
“Lo gak akan kalah!” Dimas menegaskan.
“Thanks.”
Keduanya kembali terdiam, menghisap rokok dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Gue cabut dulu,” pamit Bayu, mendadak. Meninggalkan kopi yang isinya masih setengah.
“Telpon gue kalo lo butuh bantuan.”
Bayu mengangguk.
Kalau pikirannya tidak kacau, dia pasti akan berlama-lama di kedai itu. Entah mengapa, dia amat menyukai Asal Mula Kopi.
Dia mengenakan helm dan menarik sleting jaketnya. Kemudian mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi.
***
“Selamat datang di Asal Mula Kopi, mau pesan apa?”
“Dim, gue pesen Luwak dengan susu,” pesan seorang cewek.
“Siap!”
Dia menempati meja bundar di sebelah pintu masuk lalu mengeluarkan laptopnya. Kayla menyukai kedai itu, dia dapat menghabiskan berjam-jam di sana. Menurutnya, kedai kopi ini memiliki daya tarik tersendiri dan membuat inspirasinya mengalir.
Dia menyalakan laptop dan membuka salah satu file. Dalam sekejap, dia sudah tenggelam dalam kesibukkan. Jari-jarinya bergerak dengan cepat mengetikkan kata demi kata. Dia harus sesegera mungkin menyelesaikan naskah itu.
“Kapan deadline naskah lo?”Tanya Mira, satu-satunya barista cewek di sana. Dia meletakkan pesanan Kayla disebelah laptop.
“Minggu depan! Astaga, rasanya gue bakalan ngerayu editor gue buat perpanjang waktu. Gak bakalan keburu nih.”
“Udah sampe mana emangnya? Masih banyak yang perlu diselesaikan?”
“Sekitar 7 bab lagi, rasanya gue akan ke sini setiap hari. Lebih lancar ketimbang gue nulis di tempat lain.”
“Selama seminggu ke depan, gue bakal kosongin meja ini khusus buat lo,” ucap Mira.
“Lo baik banget deh, Mir.”
“Demi lo nih. Semangat!”
“Semangat!”Ulang Kayla.
Mira meninggalkan cewek itu, dia tak ingin lama-lama mengganggu Kayla.
Kayla menyeruput kopinya, wangi kopi dan susu bercampur jadi satu. Perpaduan rasa yang pas di lidahnya.
Dia pun melihat sekeliling Asal Mula Kopi. mencari-cari inspirasi untuk bahan tulisannya. Kayla tersenyum, kemudian mulai melanjutkan tulisannya.
***
“Selamat datang di Asal Mula Kopi, mau pesan apa?”
“Kopi favorit di sini apa?”
“Aceh Gayo, Luwak dan Toraja Pak.”
“Baik, saya pesan Luwak.”
“Saya Aceh Gayo,”pesan  yang satunya"
“Ada tambahan lain?"
“Itu saja.”
“Baik, silahkan menunggu pesanannya, nanti akan kami antar.”
Kedua pria di atas 40 tahun itu memilih duduk di meja persegi yang lebih luas dan leluasa.
“Tempat yang menarik,” ucap salah satunya, matanya menjelajah kedai kopi itu.
"Seperti kembali ke jaman muda ya?”Sahut yang lainnya.
“Ya, benar. Saya pun tau dari beberapa staff saya yang suka datang ke sini. Gak ada salahnya kan kita mencoba, tempatnya tidak gaduh dan cocok untuk meeting. Saya bosan berbincang dengan klien di tempat dan suasana yang selalu formal.”
“Saya setuju. So, bagaimana kelanjutan bisnis kita?”
***
Sebuah kedai kopi memiliki banyak kisah. Ada orang yang datang hanya sekedar ingin menghilangkan rasa kantuknya, ada yang menghabiskan waktu seharian dan ‘melarikan diri’ sejenak dari rutinitas, ada yang sibuk berbisnis, ada yang tengah menyelesaikan pekerjaannya, ada pula yang memilihnya sebagai tempat kencan.
Asal Mula Kopi salah satunya, tempat di mana setiap harinya ada kisah-kisah baru dari orang yang berdatangan. Tempat di mana setiap orang membagi waktu mereka di dalam kedai, menikmati tiap detik dengan ditemani kopi favorit...
End.
***
Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi Menulis Cerpen #MyCupofStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Love,
Ay