Hari ini hari jumat, saya bangun pukul 05:40.
Amat kesiangan sebenarnya. Dengan mata yang masih berat untuk dibuka, saya
berjalan menuju kamar mandi. Kegiatan pagi pun berlangsung seperti biasanya.
Mandi dan siap-siap ke stasiun kereta. Hari ini saya naik kereta 06:45 dan
mendapatkan duduk. Seperti biasa saya akan tertidur sampai perhentian terakhir.
Selalu seperti itu. Tidak ada yang spesial. Ah, dan hari ini pun saya lupa
membuka hari dengan berdoa. Hm..
Hari ini saya salah tidur, ketika bangun
dipemberhentian terakhir, leher saya sakit. Dan perlu pijatan kecil sebelum
saya berdiri dan keluar dari kereta. saya pun mengantri untuk keluar dari
stasiun, kegiatan yang setiap hari saya lakukan.
Dari stasiun, saya masih harus naik angkutan
umum untuk menuju kantor. Pagi ini pun angkutan umum yang saya naikin penuh
sesak, tidak ada jarak sedikit pun antar penumpang, semuanya berdempetan. Dan
ketika di tengah perjalanan, angkutan umum yang saya naikin berhenti dan
menyuruh saya dan beberapa penumpang lainnya untuk pindah ganti mobil lain.
Hari ini saya bertemu dengan bapak-bapak yang
bekerja di kantor yang sama dengan saya. Kita panggil dia Pak I saja ya. Pak I
ini salah satu bapak-bapak favorit saya. Entah kenapa setiap kali melihatnya,
wajahnya selalu penuh ke-bapak-an, baik dan berkharisma. Pak I ini punya 4
orang anak yang semuanya perempuan. Di sepanjang perjalanan saya dengan beliau
menuju kantor, dia menceritakan tentang istri dan anak-anaknya.
Keempat anaknya Pak I itu lebih dekat dengan
dia, ayahnya. Apa-apa selalu diceritakan kepada ayahnya. Bahkan anaknya yang
paling kecil hanya mau ditemani belajar oleh Pak I.
Pak I: hari ini saya lebih siang datang ke
kantor, harusnya lebih pagi.
Saya: emang kenapa Pak?
Pak I: itu anak saya yang paling bontot lagi
manja, dia gak mau sekolah kalau gak diantar sama saya.
Saya: wahh.. oya? Yang kecil kelas berapa Pak?
Pak I: udah kelas 4 SD, tapi gak tau tuh manja
bener sama ayahnya. Dia juga tiap malam nungguin saya, gak mau belajar kalo gak
ditemenin sama ayahnya. Manja bener.
Begitulah kata-kata Pak I, terdengar seperti
mengeluh tetapi ketika kamu melihat wajahnya, dia berbicara sambil tersenyum
dan matanya menyorotkan dia begitu sayang pada anaknya.
Saya: sekolahnya dekat dari rumah Pak?
Pak I: dekat, jalan kaki hanya 10 menit, jadi
saya tadi nemenin dia sampe ke sekolahnya.
Berjalan kaki ke sekolah dan bersama pria yang
paling mencintainya. Entah mengapa hal itu begitu manis untuk saya. Selama 10
menit perjalanan dari rumah ke sekolah, saya yakin ada begitu banyak obrolan
antara si anak dengan ayahnya. Bagaimana si ayah menatap anaknya yang setiap
hari semakin bertumbuh dan bagaimana si ayah menggandeng anaknya. Saya membayangkan itu. Dan menjadi
tersenyum sendiri. Hati saya menghangat.
Dan ada perasaan lain yang menyelinap di
sela-sela kehangatan itu. Saya iri. Ya. Iri. Hubungan saya dengan papi saya
tidak semanis itu. Mungkin karna saya sudah besar dan malu kalau harus
bermanja-manja pun juga papi saya.
Dari segala hal yang terjadi dan itu bukanlah
hal baik, saya tau, papi saya sebenarnya tidak menginginkan hal itu. Orang tua
mana yang mau mengecewakan istri dan anak-anaknya? Tidak ada.
Papi saya bukanlah orang yang sempurna, saya
tau itu. Oleh karenanya saya berusaha untuk menerima baik dan buruknya. Dia
tetap papi saya, orang yang dulunya berjuang untuk membesarkan saya. Terima kasih,
pi. Berkat papi, saya jadi perempuan yang (bisa dibilang) tangguh.
Ps: bagaimana pun keadaan keluargamu, tetaplah
bersyukur. Percaya saja, Tuhan punya rencana yang baik, walau untuk mencapainya
tidaklah mudah pun juga sederhana.
(ditulis pada hari Jumat, 20 November 2015)
Love,
Ay