Sunday, October 1, 2023

Memaafkan Tetapi Sulit Melupakan

Waktu remaja sampai usia 20an tahun awal, saya banyak sekali memiliki teman. Sahabat, teman baik mau pun teman yang sekedar kenal. Yang ketika berpapasan hanya bertegur sapa kemudian lewat begitu saja.

Tahun demi tahun berlalu, saya merasakan juga apa yang orang lain rasakan. Iya, pertemanan yang semakin mengerucut, circle yang semakin kecil yang hanya diisi oleh orang-orang yang bertahan belasan bahkan puluhan tahun.

Ada satu teman yang saya anggap teman baik saya. Yang suka saya bagi hal-hal receh, ketemu hanya sekedar ngobrol, kulineran dan layaknya cewek pastinya ada sesi-sesi ngomongin cowok. Semenyenangkan itu.

Bahkan saya kenal baik dengan keluarganya dan pernah bilang ke Sun kalo keluarganya salah satu role model saya. Rasanya bahagia aja kalo sampai dewasa bisa makan bareng dan bepergian dengan keluarga tanpa rasa canggung. 

Sampai suatu hari saya berpartner dengan teman saya ini. Tahun-tahun pertama sangat baik, berjalan lancar. Sampai kejadian di awal tahun yang merusak segalanya...

Keluarganya yang saya anggap role model, ternyata tidak lebih dari orang-orang egois dan menganggap saya.... babu. miris.

Terlalu ikut campur, terlalu bossy, padahal kita ini sejajar dan seharusnya saling support, saling bantu. 

Sampai saya bilang ke teman saya untuk bilang ke keluarganya, karna saya pun mengusahakan yang terbaik, saya pun bekerja maksimal agar berjalan dengan smooth. 

Tapi, saya sangat kecewa sekali ketika dia malah membela keluarganya. Satu sisi saya memaklumi, karna darah lebih kental dari air. Tetapi, di sisi lain ini tidak adil, seharusnya dia bisa menjadi penengah bukannya membenarkan hal yang salah.

Selama berhari-hari saya insomnia, kepikiran sekali dan kalau tidur pun tidak nyenyak. Dada saya terlaku sesak atas perlakuan dan perkataan keluarganya. Terlebih adiknya yang mengipas bara api dan malah playing victim. :')

Saya sampai merendahkan diri untuk meminta maaf, yang seharusnya tidak perlu saya lakukan. Tetapi, tetap mereka menekan terus dan tidak merasa puas. 

Meskipun pekerjaan selesai dengan baik, tetapi tidak ada satu pun yang bicara ke saya. 

Mungkin sebenarnya selama 19 tahun ini hanya saya yang menganggap dia teman. 

Mungkin selama 19 tahun ini dia hanya menganggap saya orang yang bisa dimanfaatkan dan diperlakukan semena-mena. 

Bagi saya, 19 tahun bukan waktu yang sebentar. Kalau orang lain yang memperlakukan saya seperti itu, saya akan lebih mudah memaafkan dan melupakan. Tetapi, jika orang terdekat yang melakukannya, sangat sulit untuk saya melupakan.

Bahkan ketika sudah lewat hampir setengah tahun, hati saya masih berat. 

Saya berharap, Tuhan membebaskan saya dari sakit hati ini. Saya ingin suatu hari, ketika bertemu lagi, saya bisa menyambutnya dengan hangat dan senyuman yang ikhlas...