“Selamat datang di Asal Mula Kopi, mau pesan apa?”
Kalimat itu selalu terucap dari Mahesa, seorang barista sekaligus
pemilik kedai kopi. Aku suka mengamati laki-laki itu ketika bekerja, senyumnya
selalu meninggalkan kesan manis. Kak Hesa, aku memanggilnya demikian, adalah
seorang sosok laki-laki yang menarik, cara dia melayani pelanggan – dengan
senyum yang tak pernah lepas tercetak di wajahnya, cara dia bergurau dengan
barista lainnya seakan tidak ada batasan antara pemilik dan pegawai serta cara
dia meracik kopi yang seakan ada aura menyenangkan yang ikut masuk ke dalam
kopi buatannya.
Ah, dan aku juga suka dengan nama kedai kopi ini. Asal Mula Kopi.
Membuat setiap orang penasaran dan memiliki banyak persepsi atas nama tersebut.
Uniknya, Kak Hesa tidak pernah benar-benar menceritakan kisah dibalik nama itu,
dia ingin setiap orang menerka-nerka sendiri dan tidak ingin membatasi
pandangan orang lain.
Sambil menyeruput teh melati yang masih panas, aku kembali
mengamati setiap sudut kedai itu. Asal Mula Kopi bukanlah kedai kopi yang
besar. Hanya ada 4 meja persegi dengan setiap mejanya diisi 4 bangku serta 2
meja bundar yang diisi oleh 2 bangku. Di atas tiap meja dihiasi oleh satu botol
kaca berisi biji kopi dan setangkai bunga
baby's breath, sentuhan feminin untuk tempat yang bisa dibilang lebih cocok
menjadi tempat nongkrong para pria.
Interior dalam dari bata merah dengan bohlam-bohlam yang
menggantung di langit-langit membuat kedai ini terasa hangat dan nyaman. Tidak
seperti kedai kopi kebanyakan, Asal Mula Kopi menawarkan kopi-kopi asal
Indonesia yang ditaruh pada kotak-kotak kaca besar yang diberikan keterangan:
Luwak, Jawa, Bali, Sumatera, Toraja, Lanang, Aceh Gayo dan Wamena. Setiap orang yang datang dapat memilih
langsung ingin diseduhkan kopi apa dan mereka diperbolehkan mencium biji kopi
yang ditawarkan. Penyeduhannya pun tidak memakai mesin kopi yang canggih, Kak
Hesa masih menggunakan cara lama – pour
over, dia pernah bilang kalau rasa kopi dan baunya akan semakin keluar.
Hampir setiap hari aku datang ke sini. Tetapi, aku bukanlah
pecinta kopi. Aneh? Memang. Setiap datang ke sini aku hanya memesan minuman
yang selalu sama, teh melati dengan ditemani sepotong roti bakar mentega.
“Vanda, aku tinggal dulu ya.” Kak Hesa pamit, dia harus membantu
melayani pelanggan yang datang.
Aku pun tersenyum dan mengangguk, mengerti bahwa dia perlu
melayani. Akan ada waktunya kami berbincang-bincang dan bercerita tentang satu
hari yang dilalui.
Pandanganku beralih ke meja-meja lain. Sore ini hanya 3 meja yang
terisi. 1 meja bundar yang diisi oleh sepasang kekasih – kalau aku amati dari
cara mereka yang saling memandang, 1 meja persegi berisi 3 orang mahasiswa yang
sibuk dengan laptop masing-masing dan aku yang duduk sendiri di meja bundar.
Semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing dan tidak memperdulikan para
pengunjung yang silih berganti datang untuk memesan kopi kemudian keluar lagi
dari kedai.
Aku kembali mengarahkan pandanganku kepada Kak Hesa yang baru saja
menyerahkan 1 cup kopi kepada
pengunjung yang datang. Aku menatapnya lekat-lekat. Orang yang aku tatap pun
sadar dan dia tersenyum.
“I love you.” Kak Hesa
mengucapkannya tanpa suara serta memberikan satu kedipan, membuatku tersipu
malu. Dia memang paling bisa membuat aku salah tingkah.
Aku melirik ke arah jam dinding, sudah pukul 6 sore. Aku
menghabiskan teh melati yang sudah dingin itu dan memasukkan potongan terakhir
roti bakar mentega. Sambil mengunyah, aku rapikan buku-buku yang tersebar di
meja, memasukkannya kembali dalam tas.
“Yuk.” Kak Hesa sudah berdiri di depanku, apron yang seharian dia
pakai sudah dilepas.
“Dim, gue cabut duluan.
Jaga kedai ya!” Pesan Hesa kepada staffnya.
“Siap Pak Bos! Selamat berkencan,” ledek Dimas.
Aku tertawa kecil mendengarnya, “ makasih Dimas yang sampai saat
ini masih jomblo.” Gantian aku meledeknya. Sebelum Dimas buka suara, aku
buru-buru menarik tangan Kak Hesa dan mengajaknya keluar dari kedai.
“Aku laper banget,” rengekku setelah berhenti menertawakan Dimas
dari luar kedai.
“Kamu mau makan apa?”
“Kwetiaw siram!” Ucapku dengan semangat.
“Di tempat biasa?”
Aku mengangguk.
“Kita ke sana dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Kali ini kamu harus habisnya satu porsi. Gak boleh sisain
makanan, ngerti?” Ucap Kak Hesa, galak.
Aku mencibir, “ iyaaaa… yukk, laper nih.”
Kak Hesa menatapku gemas. Dan aku membalasnya dengan cengiran.
***
“Selamat datang di Asal Mula Kopi, mau pesan apa?” Ucap Dimas
secara spontan tiap kali ada pelanggan yang datang.
“Biasa ya, bro,”pesan orang itu.
“Oke, Bro!” Dimas mengambil Aceh Gayo dan mulai menyeduh sedangkan
si pemesan kembali keluar dari kedai.
Bayu, nama orang itu. Dia menyelipkan sebatang rokok diantara
bibirnya dan menghisapnya dalam-dalam. Dia mengeluarkan handphonenya dan
membuka galeri foto. Banyak tersimpan foto-foto dia bersama seorang perempuan
cantik, saat makan malam, bermain di pantai bahkan foto-foto selfie dengan
berbagai mimik muka. Bayu meremas handphonenya.
“Brengsek!” Makinya.
“Aceh Gayo,” sodor Dimas. Dia ikut menemani bayu duduk di depan
kedai dan mulai menyalakan rokok.
“Lo masih belom bisa lupain dia?” Tanya Dimas.
Orang yang ditanya hanya diam sambil kembali menghisap rokoknya
dalam-dalam.
“Gue emang apes ya dapet cewek yang cuma cantik luarnya aja,” kata
Bayu dengan nada sinis.
“Bagus lo udah lepas dari dia.”
“3 tahun, Dim. Bukan waktu yang sebentar. Dan demi cowok bajingan
tajir, dia ninggalin gue. Bangsat!”
Dimas -melihat gelagat Bayu yang emosinya mulai meninggi,
merangkul cowok itu.
“Lo tunjukin sama dia, tunjukin karna dia udah ninggalin lo. Lo
harus melebihi si sampah itu.”
Bayu meneguk kopinya, menghisap rokoknya kembali.
“Lo bener, gue gak akan kalah sama si bajingan!”
“Lo gak akan kalah!” Dimas menegaskan.
“Thanks.”
Keduanya kembali terdiam, menghisap rokok dan sibuk dengan pikiran
masing-masing.
“Gue cabut dulu,” pamit Bayu, mendadak. Meninggalkan kopi yang
isinya masih setengah.
“Telpon gue kalo lo butuh bantuan.”
Bayu mengangguk.
Kalau pikirannya tidak kacau, dia pasti akan berlama-lama di kedai
itu. Entah mengapa, dia amat menyukai Asal Mula Kopi.
Dia mengenakan helm dan menarik sleting jaketnya. Kemudian
mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi.
***
“Selamat datang di Asal Mula Kopi, mau pesan apa?”
“Dim, gue pesen Luwak dengan susu,” pesan seorang cewek.
“Siap!”
Dia menempati meja bundar di sebelah pintu masuk lalu mengeluarkan
laptopnya. Kayla menyukai kedai itu, dia dapat menghabiskan berjam-jam di sana.
Menurutnya, kedai kopi ini memiliki daya tarik tersendiri dan membuat
inspirasinya mengalir.
Dia menyalakan laptop dan membuka salah satu file. Dalam sekejap,
dia sudah tenggelam dalam kesibukkan. Jari-jarinya bergerak dengan cepat
mengetikkan kata demi kata. Dia harus sesegera mungkin menyelesaikan naskah
itu.
“Kapan deadline naskah lo?”Tanya Mira, satu-satunya barista cewek
di sana. Dia meletakkan pesanan Kayla disebelah laptop.
“Minggu depan! Astaga, rasanya gue bakalan ngerayu editor gue buat
perpanjang waktu. Gak bakalan keburu nih.”
“Udah sampe mana emangnya? Masih banyak yang perlu diselesaikan?”
“Sekitar 7 bab lagi, rasanya gue akan ke sini setiap hari. Lebih
lancar ketimbang gue nulis di tempat lain.”
“Selama seminggu ke depan, gue bakal kosongin meja ini khusus buat
lo,” ucap Mira.
“Lo baik banget deh, Mir.”
“Demi lo nih. Semangat!”
“Semangat!”Ulang Kayla.
Mira meninggalkan cewek itu, dia tak ingin lama-lama mengganggu
Kayla.
Kayla menyeruput kopinya, wangi kopi dan susu bercampur jadi satu.
Perpaduan rasa yang pas di lidahnya.
Dia pun melihat sekeliling Asal Mula Kopi. mencari-cari inspirasi
untuk bahan tulisannya. Kayla tersenyum, kemudian mulai melanjutkan tulisannya.
***
“Selamat datang
di Asal Mula Kopi, mau pesan apa?”
“Kopi favorit di
sini apa?”
“Aceh Gayo, Luwak dan Toraja Pak.”
“Baik, saya pesan Luwak.”
“Saya Aceh Gayo,”pesan yang
satunya"
“Ada tambahan lain?"
“Itu saja.”
“Baik, silahkan menunggu pesanannya, nanti akan kami antar.”
Kedua pria di atas 40 tahun itu memilih duduk di meja persegi yang
lebih luas dan leluasa.
“Tempat yang menarik,” ucap salah satunya, matanya menjelajah
kedai kopi itu.
"Seperti kembali ke jaman muda ya?”Sahut yang lainnya.
“Ya, benar. Saya pun tau dari beberapa staff saya yang suka datang
ke sini. Gak ada salahnya kan kita mencoba, tempatnya tidak gaduh dan cocok
untuk meeting. Saya bosan berbincang
dengan klien di tempat dan suasana yang selalu formal.”
“Saya setuju. So,
bagaimana kelanjutan bisnis kita?”
***
Sebuah kedai kopi memiliki banyak kisah. Ada orang yang datang
hanya sekedar ingin menghilangkan rasa kantuknya, ada yang menghabiskan waktu
seharian dan ‘melarikan diri’ sejenak dari rutinitas, ada yang sibuk berbisnis,
ada yang tengah menyelesaikan pekerjaannya, ada pula yang memilihnya sebagai
tempat kencan.
Asal Mula Kopi salah satunya, tempat di mana setiap harinya ada
kisah-kisah baru dari orang yang berdatangan. Tempat di mana setiap orang
membagi waktu mereka di dalam kedai, menikmati tiap detik dengan ditemani kopi
favorit...
End.
***
Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi Menulis Cerpen #MyCupofStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Love,
Ay