Banyak hal yang saya
sukai. Saya suka memandang langit berawan. Saya suka rintik hujan. Saya suka
menggambar. Saya suka menulis. Saya suka bercerita tentang hari-hari saya
kepada orang-orang yang saya percaya. Saya suka dengan pendar bintang dan
kerlipan kunang-kunang. Saya suka anak-anak. Saya suka mendengarkan keluh-kesah
teman-teman saya. Saya suka bepergian ke tempat-tempat baru dan saya suka bulan
Desember. Entah sudah berapa banyak yang tau kalau saya amat menyukai bulan ini.
Setiap bulan Desember tiba,
hati saya dipenuhi kehangatan. Ada perasaan nyaman dan damai di dalamnya. Entah
dari mana datangnya, saya tidak tau. Walau di 31 hari di bulan itu ada hal-hal
buruk yang terjadi, tapi tidak menghilangkan rasa hangat di hati saya. Di bulan
Desember, saya seperti diberikan kekuatan lebih untuk menjalani hari-hari saya.
Bulan Desember di tahun
ini pun sudah lewat setengahnya. Ah, kenapa begitu cepat? Seriously, saya tidak ingin cepat-cepat berakhir. Karna menunggunya
lagi butuh 11 bulan. Waktu yang tidak sebentar.
Hal baik dan buruk pun
terjadi di bulan ini. Menyerahkan saya? Tidak. Menangiskah saya? Sedikit.
Sayang, catat ini: menangislah secukupnya dan
berbahagialah sebanyak-banyaknya.
Di bulan ini pun saya
banyak mengikuti kegiatan. Saya ingin terus menata diri saya, memperbaikinya di
berbagai sisi, tidak untuk menjadikan diri saya sempurna tetapi menjadi ‘saya
yang lebih baik dari sebelumnya’.
Minggu lalu saya ikut
acara gereja, saat itu temanya ‘Forgiving’. Dari sekian menit pembicara membawakan
topik itu, ada banyak pelajaran yang saya dapatkan.
Everyday, everybody will
hurt you. Everyday, you must forgive someone.
Before you forgave
someone, try to forgave yourself first.
Kira-kira
begitulah yang pembicara itu ucapkan (dan maafkan kalau kalimat yang saya tulis
salah, you know, kemampuan bahasa
inggris saya minim. Correct me if I’m
wrong ya. Hehe)
Kalimat
itu membekas di hati saya dan tanpa sadar saya mengangguk-anggukan kepala saat
mendengarnya. Memaafkan diri sendiri, kedengarannya begitu mudah. Tapi, faktanya,
memaafkan orang lain jauh lebih mudah dibanding memaafkan diri sendiri. Saya
masih perlu belajar memaafkan diri saya, menyayanginya dan memberikan apresiasi
ketika saya melakukan hal yang baik. Saya masih perlu belajar untuk menghargai
diri saya. Dan tentunya belajar menghapus rasa-rasa tidak mengenakkan yang
bersarang di dalam hati.
Dan
di bulan ini pun saya menemukan 1 postingan yang mengena di hati. Saya gak
berpikir sebelumnya kalau di blog ini akan kedatangan bintang tamu. Saya tidak
pernah berpikir untuk merepost cerita orang lain di blog saya. Tapi, kali ini
pengecualian. Saya menyukai tulisan ini.
Hidup itu seperti sebuah perjalanan. Bergerak dari sebuah titik ke titik
lain di masa depan. Pergi ke satu tempat untuk menetap atau hanya sekadar untuk
singgah. Bertemu dengan seseorang atau akhirnya memutuskan berpisah.
Seperti halnya sebuah perjalanan, masing-masing dari kita membawa bagasi
yang berbeda. Mungkin hanya sebuah kotak kecil yang ringan untuk dibawa, atau
koper besar berwarna cokelat muda yang menguras tenaga untuk membawanya.
Setiap orang membawa bagasinya masing-masing. Untuk seseorang, bagasi itu
mungkin cukup dibawa dengan sebelah tangan. Dan untuk sebagian yang lain, harus
dipanggul dengan menggunakan kokohnya tulang belakang.
Bagasi itu bentuknya bermacam-macam, bisa berupa beban ekonomi yang
berkepanjangan, rumitnya kondisi keluarga yang memberatkan, hingga luka atau
trauma emosional yang tak kunjung hilang.
Dan layaknya manusia normal, mungkin kadang kita suka membandingkan.
Berkata pada diri sendiri : “Seadainya saja saya berada di posisinya.
Seandainya saja saya lah orang yang membawa bagasinya.”
Tapi sayang kondisinya tidak seperti itu kawan.
Bring your own
luggage. It’s your life. Never compare it with others.
Jangan pernah meminta orang lain untuk membawa bagasimu. Karena ketika kau
mulai membandingkan, saat itulah kau kehilangan kebahagiaan.
Mungkin kamu pernah bertemu dengan orang yang sepertinya rela menerima
kondisimu, rela membawa bagasimu, namun akhirnya dia sadar, dia tidak butuh
beban tambahan.
Dan memutuskan untuk pergi, memilih bersama orang dengan bagasi yang lebih
kecil. Agar bebannya terasa lebih ringan.
Jangan kau tangisi kawan. Dia bukan untukmu.
Tetap bersabarlah kawan, ketika kau tergopoh-gopoh berusaha untuk membawa
sendiri bagasimu, berusaha menggenggam erat semua koper bawaanmu, atau
memanggul semua beban di pundakmu.
Nanti akan ada seseorang yang rela menjulurkan tangannya untuk membantumu.
Tersenyum berdiri di sebelah mu.
Membantu membawa barang bawaanmu. Mencengkeram pegangan koper itu
bersamamu.
Mungkin karena dia pernah membawa bagasi yang sama. Sebuah koper besar
berwarna cokelat muda. Atau memang dia yang rela, untuk membawa bagasimu
bersama-sama.
Karena suatu saat, “bagasi mu” akan berubah menjadi “bagasi kita”.
Ditulis oleh Tirta – Pemilik blog
romeogadungan.com
Apakah kamu merasakan seperti yang saya
rasakan ketika membaca tulisan di atas? Ada kah rasa hangat menjalar di hatimu?
Tulisan Tirta memembuat saya terdiam sejenak
dan memikirkan koper-koper yang selama ini saya bawa. Bagi banyak orang yang
mengenal saya hanya di luarnya saja, mungkin saya terlihat ke mana-mana hanya
membawa tas tenteng kecil. Nyatanya, tiap harinya saya membawa banyak koper
yang seringkali membuat saya teramat lelah dan tertidur di hampir setiap
perjalanan saya pulang ke rumah.
Saya tidak ingin orang lain repot dengan bagasi
saya yang penuh dengan koper besar dan kecil. Jika berjalan bersama saya ikut membuatmu lelah, berhenti dan pergilah.
Saya tidak ingin menahanmu. Itulah yang kemarin-kemarin saya lakukan. Tidak
ingin membuat orang lain susah karena saya. Dari kalimat-kalimat Tirta, saya tersadar bahwa saya boleh mempercayakan koper-koper saya kepada seseorang yang bersedia ikut menjinjingnya bersama. Saling menyemangati untuk terus berjalan seberapa pun melelahkannya perjalanan itu.
Saya pun percaya meski seseorang itu belum datang, saya tidaklah sendiri. Karna Tuhan saya sudah terlebih dahulu membawa sebagian besar isi bagasi saya. Dia mempercayakan saya koper-koper lain agar saya menjadi orang yang tidak lemah. Dan agar saya dapat belajar untuk mempercayakan koper-koper itu untuk dibawa bersama dengan seseorang.
Ps: Ditulis dalam keadaan langit mendung,
mata mengantuk tetapi dengan perasaan yang jauh lebih baik.
Love,
Ay
No comments:
Post a Comment