Tadi
pagi seorang teman curhat ke saya masalah percintaan. Saya menghargai
orang-orang yang mempercayakan kisah mereka pada saya. Tetapi, saya sendiri
punya batasan untuk mendengarkan dan menanggapi curhatan-curhatan itu.
Teman
saya ini bisa dibilang udah tingkat depresi karna putus cinta, setiap di chat
dan ketemu pasti selalu menceritakan kesedihan dan sakit hatinya. Awalnya saya
mendengarkan dengan baik, menguatkannya. Seberapa pun saya mendengarkan,
seberapa pun saya mengeluarkan pernyataan-pernyataan menguatkan, kalau masih ‘menikmati’
sakit hati itu, saya ya gak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ada
satu titik di mana saya sudah tidak bisa mentolerir sikapnya. Tadi pagi lah
saya sudah mencapai titik itu, di mana saya sudah tidak mau memberikan
tanggapan mengenai kisah cintanya.
Dia : mungkin lo gak ngerti karna lo gak
berada di posisi gue, jadi lo gampang ngomong begitu.
Saya :iya,
gue gak tau dan gak akan pernah tau, karna gue gak ngalaminnya. Terus gunanya
cerita ke gue apa?
Yak! Saya udah mulai galak dan ‘jahat’.
Dia :
gue pengen didengerin lah, bukannya lu temen gue
Saya :
gini ya, lo udah gede. Lo bukan bocah ababil lagi, lo tau gimana harus
bertindak pake logika. Masalahnya lo ngomongin dia gak hanya 1-2x. berkali-kali
dan gue jadi mikir, ‘kok lo gini amat ya?’
Dia :
gue gak perlu lo ngejudge gue, gue cuma pengen lo dengerin aja gue.
Saya :
karna lo cuma minta didengerin, jadi lo mau cerita panjang lebar gpp, gue baca
tapi gue gak mau kasih tanggepan apa-apa lagi.
Sepertinya
saya cocok ya menjadi peran antagonis? Orang yang baca potongan chat di atas
pasti akan berpikir saya begitu tega sama teman sendiri, saya jahat, temannya
lagi galau malah balik diomelin bukannya ditenangin.
Ada
perkataan teman saya yang membuat saya…….
hati lo sepertinya dingin…
Hidup
saya keras, permasalahan saya tidaklah sedikit. Di tujuh tahun terakhir ini
saya tumbuh menjadi pribadi yang tidak manja, tidak merengek-rengek, tidak
banyak mengeluh. Karna tidak ada gunanya juga saya meratapi
permasalah-permasalah saya. Hidup saya sudah berat dan saya tidak ingin lebih
memberatinya dengan menjadi orang yang lemah.
hati lo sepertinya dingin…
saya
tidak bisa mengungkapkan perjalanan hidup saya kepadanya. Karna bobotnya tidak
sebanding dengan permasalahan cintanya.
Bagaimana
saya bisa menceritakan perjalanan saya yang rumit kepada orang yang stress
hanya dengan 1 permasalahan cinta?
Saya
sama sekali tidak meremehkan permasalahannya, saya mengerti kapasitasnya dan
oleh karna itu saya tidak dapat bercerita padanya.
Hati
saya sudah penuh dengan tambalan. Bentuknya sudah tidak sempurna lagi, jadi
saya tidak ingin menambahi beban pada hati saya. Saya mencoba menyatukan hati
saya dengan logika, biar lebih ‘waras’. Pikiran saya yang akhirnya melindungi
hati saya. Karna saya belajar, dengan apa-apanya menggunakan hati tanpa logika,
saya akan hancur. Setelah itu? Tidak ada lagi yang tersisa dari diri saya.
Jelas,
saya tidak menginginkan hal itu. Hati saya tidak dingin, dia masih sehangat
sebelumnya bahkan jauh lebih hangat. Tetapi dia pintar, dia dapat bekerja sama
dengan otak sehingga dapat memilah mana yang perlu pakai hati, mana yang perlu
pakai logika, mana yang keduanya berjalan beriringan.
sayang, dalam hidup kita punya dua pilihan ketika
dihadapi masalah:
stress, depresi, terpuruk dan jadi gila
atau
stress, nangis, kemudian bangkit, berjuang dan
tetap menjalani hidup dengan baik.
Love,
Ay
No comments:
Post a Comment