Suatu kali saya
pernah dekat dengar seorang pria. Kita di jurusan yang sama tapi beda kampus.
Dia satu sekolah dengan teman kampus saya.
Kita benar-benar
berbeda dalam cara pandang, terutama tentang keimanan. Dia seseorang yang meragukan
adanya Tuhan, seseorang yang berpikir baik buruknya keadaan itu karna
pilihannya kita bukan karna Tuhan.
Sedangkan saya
adalah orang yang percaya kalau Tuhan itu ada dan saya mempercayakan hidup saya
pada-Nya.
Hal kedua yang
membedakan saya dengan dia adalah sebagai perempuan saya harus menjaga apa yang
saya miliki hanya untuk suami saya kelak. Dan itu gak bisa diubah. Karna dari
dulu saya gak pernah melihat kerennya free
sex, drugs, dkk.
Sedangkan dia
adalah tipikal yang selalu melakukan hubungan intim dengan para mantannya.
Sebenarnya hal
yang udah umum banget sih sekarang. Free
sex udah dianggap hal yang biasa, gak tabu lagi.
Balik lagi ke
saya dan dia. 2 prinsip di atas jelas berbeda banget dan gak mungkin disatuin.
Tapi, entah kenapa kita bisa dekat dan nyambung berbicara dalam banyak hal. Dia
benar-benar terbuka tentang pola pikirnya dan saya pun juga bisa terbuka
tentang hal-hal yang prinsipal padanya. Aneh ya?
Kita banyak
berbicara tentang hidup, pekerjaan, hati dan keseharian kita. kita merasa
nyambung walau dengan prinsip yang berbeda.
Kita pun pernah
membahas mengenai perfilman Indonesia dan teater yang ada di Jakarta. Sampai
pada akhirnya dia ngajak saya nonton drama musikal.
Dia : The, ada drama musical yang pengen
banget gue tonton.
Saya : tentang apa?
Dia : Judulnya Les Miserables, nonton dulu
deh filmnya biar kamu ngerti *kasi link film*
Saya : kamu udah nonton filmnya kenapa masih
mau nonton lagi?
Dia : ini beda, lebih teatrikal, dibawain
sama Teater Katak. Kamu mau ikut gak?
Saya : belom pernah sih nonton teater gitu,
keliatannya menarik. Kapan?
Akhirnya kita pun
sepakat untuk nonton Les Miserables. Tau berapa lama? Hampir 4 jam! Dan saya
gak merasa bosan lho. Karna ceritanya menarik, para pemainnya piawak sekali
dalam menghayati perannya masing-masing. Bagus. Banget. Kalau tau nonton teater
menarik, saya pasti udah nonton dari dulu deh.
4 jam pun
berlalu dan tau-tau sudah hampir tengah malam! Saat itu rabu, dan besokkannya
saya harus bangun pagi untuk kembali kerja.
Dari Taman
Ismail Marzuki kita langsung pulang. Dan sepanjang perjalanan ada banyak yang
kita bahas. Dia pun sempat membahas tentang laki-laki.
Dia : cowok itu punya banyak cara untuk
mendapatkan yang dimau. Kamu harus hati-hati. Cewek sering banget goyah kalau
diperlakukan dengan sangat gentle.
Kamu bilang gak mau kan berhubungan sebelum nikah?
Saya : *mengangguk*
Dia : Jangan berpikir ‘takut ah, gak
berani / nanti hamil, dll’. Kalau alesan kamu gitu, kayak yang gue bilang,
cowok punya banyak cara buat bikin goyah. Tapi, yang harus kamu tanamkan, kamu
gak mau melakukan itu bukan karna kamu takut, tapi karna kamu berharga.
Karna kamu
berharga…
Saya trenyuh
mendengarnya.
Saya : terus kenapa kamu suka begituan?
Dia : karna nikmat, The. Tapi, kamu jangan
ya, pertahanin apa yang kamu punya.
Kalau menurut
saya sebagai pihak perempuan, bukanlah masalah selaput darah yang robek,
terlalu dangkal (dan lagi sekarang kan udah canggih, yang robek bisa dirapetin
lagi :p). Tapi tentang kita sebagai perempuan yang bisa mengendalikan diri dan
tau batasan.
Setiap kali saya
memikirkan mengenai itu, saya selalu membayangkan…
… jika saya
melakukan itu, saya pasti akan nyesel banget, bisa jadi saya gak akan
menghargai diri saya lagi, bisa jadi saya akan berubah menjadi sosok yang insecure dan menyebalkan. Dan seandainya
saya melakukan itu, kemudian putus dan saya menyesali kemudian berjanji tidak
akan melakukannya lagi, belum tentu pacar saya yang selanjutnya bisa menerima
(yang ada nagih jatah juga – mungkin). Ada memang laki-laki yang tidak
mempermasalahkan itu, tapi seberapa banyak?
… jika saya
sebagai orang tua, dan mendapati anak saya masuk ke pergaulan bebas dan tidak
baik, saya pasti akan sedih dan kecewa. Tapi, lebih dari rasa kecewa saya
terhadap anak saya, saya jauh lebih kecewa kepada diri saya sendiri. Kenapa? Karna
saya tidak dapat mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada anak saya, anak saya
seperti itu karna saya juga.
2 pikiran itu
lah yang membuat saya bertahan sampai sekarang, bertahan untuk tidak memberikan
hadiah di awal dan hanya akan diberikan ketika nanti menikah. Anggaplah pikiran
saya super kolot, tapi memang itu lah yang selalu saya tanamkan. Saya tidak
ingin punya perasaan seperti 2 hal di atas.
Dan buat kalian
para perempuan yang telah memberikan hadiah itu sebelum menikah (dan melakukannya berulang kali), kalian bisa menghentikannya sekarang dan menunggu sampai menikah nanti. Kalian pun tetap berharga. :)
***
September 2016...
Dia: Thea…
Saya: Hai! Apa kabar?
Dia: Baikk..
baik, jalan-jalan terus nih lu.. hahaha
Saya: bahahhaa..
justru lagi butuh piknik nih. Lo gimana? Udah melepas kejombloan lom?
Dia: Sudah,
wahahaah
Saya: wow! Congrats
yaaa. Sama dongs *toss* anak mana?
Dia: Anak kantor
ko, pdktnya sebentar, abis itu jadian. Percaya ga percaya wkwkwk
Saya: canggih
amat lo, dihipnotis nih pasti
Dia: hipnotis
gak berbulan2 juga tahannya kali. Yah itu sih gak make waktu lama kok. Sekalinya
tau she’s the one. Heheh
She’s the one! Saya ikutan
happy mendengarnya. Dia pun chat saya sebenarnya untuk menawarkan
pekerjaan di kantornya. Owner kantornya lagi cari personal assistant dan dia
teringat pada saya.
Terus kamu
terima tawaran itu?
Enggak. Hehehe..
saya belum bisa melepaskan kantor yang sekarang. :p
Ps: semoga
langgeng sama pacar yang sekarang ya!
Ay.
Eh ini nyambungnya sama cerita yang bawah gimana? Kalo yang atas no komen ah the. :p
ReplyDeletehahahhhaa.. iya, hak masing2 kok dan pilihan hidup orang kan beda2 :p
DeleteEh ini nyambungnya sama cerita yang bawah gimana?
yg mana?