“Si Becca enak
ya,” ucap aku, iri.
“Karna ortunya
kaya?” Tanya Kania.
“Salah satunya,”
aku menghembuskan napas berat kemudian melanjutnya, “ gue pengen hidup normal,
Ka. Kayak kebanyakan orang. Kayak Becca. Kayak lo.”
Kania menatap
aku dan aku menghindarinya dengan buru-buru menyambar teh yang ada di samping
bangku panjang tempat aku dan Kania duduk. Aku menyesapnya sedikit. Dan
seketika aroma bunga yang kusuka memenuhi hidungku. Rasa bunga krisan..
“Ri…”
“Gue cape, Ka..
cape banget. Gue suka nanya sama Tuhan, kenapa gue dikasih begitu banyak kado
yang bertahun-tahun gak selesai gue buka satu per satu. Dan tiap tahunnya
kado-kado itu bertambah.”
Kado. Istilah
yang kami pakai untuk mengganti kata ‘masalah’. Awalnya ini candaan kami, dua
sahabat yang sudah saling mengenal sejak masih pipis di celana. Dulu sekali,
saat aku masih sangat optimis, aku selalu bilang pada Kania bahwa orang-orang
yang punya banyak masalah adalah orang yang spesial.
Gak banyak orang yang
mampu menerima masalah yang begitu banyaknya. Dan bertahun-tahun aku menguatkan
diri dan selalu bilang pada diri sendiri, “Ori,
lo orang yang spesial. Lo bisa, lo mampu, lo punya Tuhan yang lebih besar dari
masalah lo.”
Gak salah. Tuhan
tetap besar, hanya saja aku yang tak cukup kuat.
“Ortu lo kenapa
lagi, Ri?” Tanya Kania. Dia tau sekali kalau kado aku gak jauh-jauh dari
keluarga.
“Mau buka bisnis
baru dan rencana ajuin pinjaman ke bank. Dan pengajuan pinjaman itu atas nama
gue. God!” Aku mengacak-acak rambut
frustasi.
“Kalo cicilan rumah
masih berapa tahun lagi, Ri?” Tanya Kania.
“4 tahun.”
Aku kembali
menyesap teh krisan yang sudah dingin.
“Lo tau kan Ka,
gue udah gak bisa percaya lagi dengan janji-janji mereka. ‘Kalo papa sukses kamu gak usah bayar cicilan rumah, Listrik, air, biaya
sekolah adik-adik kamu. Nanti papa yang bayar semua.’. Gue udah denger itu
berkali-kali dan berkali-kali pula hasilnya nihil dan malah menambah tanggungan
gue setiap bulannya.”
Kania diam dan
menunggu aku melanjutkan bicara. Dia tau aku mau memuntahkan semua uneg-uneg
yang mengganjal.
“Gue gak setuju
sama pinjaman itu. Dan nyokap gue memperkeruh suasana dengan bilang gue tega
sebagai anak, papanya mau usaha tapi dijegal sama anak, gue gak mikirin mereka.
Apa iya gue sejahat itu?”
“Lo baik, Ri.
Dan selamanya akan tetap baik.”
“Gue cape selalu
jadi atm berjalan mereka seakan gue gak boleh menata hidup dan masa depan gue.
Ka, kalo gue jahat, gue udah ninggalin mereka dengan semua hutang-hutang itu.
Gue bisa hidup lebih dari cukup dari penghasilan gue. Tapi, gue memilih untuk
mengambil tanggung jawab. Gue gak banyak ngeluh, gue gak cerita ke orang-orang
tentang tanggungan gue dan gue bersyukur bisa bayar semuanya.”
Kania memeluk
aku, menepuk pundak aku.
“Gue gak bisa
kalo ditambah dengan bayar cicilan kredit pinjaman itu. Usaha bokap sendiri gak
jelas sistemnya seperti apa, gue tanya konsep dan anggarannya gak tau. Gue bisa
bayangin pinjaman itu akan habis begitu aja tanpa kejelasan. Dan yang akan
bayar cicilan ke bank untuk 10 tahun ke depan siapa? Gue.”
“Gue cape hidup
penuh hutang..”
“Kalo gue bilang,
gue mau bantuin lo secara keuangan, gue tau lo bakal nolak mentah-mentah. Tapi,
sekali ini please gue mau banget
bantu lo. Jangan berfikir tentang hutang budi ya Ri. Kita udah sama-sama dari
kecil, lo sering ngajarin gue waktu sekolah. Kalo gak ada lo, gue mungkin gak
lulus.”
“Gak, Ka. Lagipula
gue udah bilang ke mereka gue gak mau tandatangan pengajuan itu. Mereka marah,
gue pun marah. Gue males pulang ke rumah.”
“Lo tau kan,
pintu rumah gue selalu terbuka buat lo. Malem ini nginep di rumah gue aja
gimana?” Kania menawarkan.
Aku mengangguk
setuju.
Di saat-saat
penuh tekanan seperti ini, aku masih bisa bersyukur karna punya sahabat yang
selalu ada buat aku.
“Lo udah cerita
ke Nando?”
“Belum. Gue kasian
Ka sama dia, pacaran sama cewek yang punya kado segunung. Kalo suatu hari dia
ketemu cewek yang baik…”
“Lo jangan
ngaco!” Potong Kania. “Dia nerima lo dengan semua kado lo sejak 5 tahun lalu.”
“Justru itu Ka,
rasanya egois kalo gue masih pertahanin hubungan ini dengan kondisi keluarga
gue yang semakin parah. Gue sampe takut buat nikah. Gue takut gak bisa membantu
karna sebagian besar gaji gue untuk keluarga..”
“Ri, lo lagi
kacau, jangan mikirin yang macem-macem lagi. Udah mau gelap nih, balik ke rumah
gue, yuk.”
Kami menghabiskan
teh, merapatkan sweater dan keluar dari kedai langganan kami. Aku berjalan
mengikuti Kania dari belakang dengan pikiran yang masih gamang.
Sekali lagi aku
mengucapkannya dalam hati, Tuhan, sanggupkah
aku?
***
Hai,
ini Ay.
Makasih sudah menyempatkan diri untuk berkunjung dan membaca kisah-kisah di blog ini. Blog Vealde memang visitornya tidak sebanyak Blog Summer3angle, tetapi setiap saya cek dan melihat ada visitor yang datang ke sini, sudah membuat hati saya hangat.
Iya, saya masih hutang cerita nikahan kemarin.Menuliskannya pun belum sempat.. Di saat ada waktu, malah melintas cerita lain yang buru-buru saya ketik dan bagikan di sini.
Entah satu atau dua bulan lagi, saya akan susun cerita nikahan yang penuh haru dan syukur (plus ada aja kejadian dodolnya, gak ngerti lagi deh :p).
PS: tinggal satu stengah bulan lagi sebelum pergantian tahun, sudah kah kamu bahagia? :)
Love,
Ay